Minggu, 24 Oktober 2010

Pengkhususan Hukuman Zina Dengan Tiga Hal

Alloh ‘Azza wa Jalla mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal, yaitu Pertama , Alloh melarang hamba-hambaNya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina itu. Sebab, Alloh ‘Azza wa Jalla  mensyari’at kan hukuman tersebut didasarkan pada kasih sayang dan rahmatNya pada mereka. Alloh itu sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Alloh untuk memerintahkan berlakunya hukuman ini. 


Oleh karenanya janganlah kasih sayang yg ada di hati kalian itu mencegah kalian untuk melaksanakan perintah Alloh.Hal ini -walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud)yang disyari’atkan- namun  disebutkan dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai perasaan marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang kepada para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Alloh melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat tidak diberlakukannya hukuman Alloh ‘Azza wa Jalla.
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya yaitu karena perbuatan zina ini bisa terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan libido. pent) dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara hati manusia itu secara tabiat, punya perasaan kasihan pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan pada mereka,  walaupun sebenarnya bentuk dari percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal seperti ini sudah tidak dipungkiri lagi. Dan hal itu memang sudah diakui oleh orang-orang.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama suka dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang membuat jiwa orang-orang itu geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehingga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Alloh I. Ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dapat dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Alloh dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Alloh dalam perintah dan rahmatNya.
Kedua, hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan.  Dalam hukuman zina yang ringan saja, Alloh menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya selama satu tahun.
Ketiga, Alloh‘Azza wa Jalla  memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupun rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mukmin, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hukuman tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (sudah berkeluarga) diambil dari hukuman Alloh terhadap kaum Nabi Luth’ u yang dilempar dengan batu. Yang demikian itu karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth’ u) adalah sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Alloh di dalam penciptaan perintahNya. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homosex) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih pantas dan lebih baik untuk dibunuh saja; sebab dia itu mengalami kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menyerap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Alloh, juga kepada makhlukNya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi oleh sperma pelaku liwath seperti berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.
Ada perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi pelaku liwath itu bisa masuk Surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini.
Mereka yang mengatakan tidak akan masuk Surga  memberikan hujjah dengan beberapa hal: Di antaranya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan masuk Surga anak seorang pezina.”
Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan kekotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apa pun selamanya, disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang kotor; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk api Neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperma yang haram?
Mereka mengatakan: Orang yang menjadi pelaku liwath itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan lebih kotor pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat taufik kebaikan. Dia juga pantas dihalangi untuk mendapatkan taufik tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Alloh akan menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang yang sudah seperti itu di masa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah di masa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nashuha.
Namun setelah diteliti, yang lebih pas untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Alloh, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nashuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya  di masa tua lebih baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan pendekatan diri kepada Alloh, juga menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-benar jujur kepada Alloh dalam mu’amalah-nya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk ahli Surga. Sebab, Alloh Maha mengampuni seluruh dosa. Bila taubat itu -kita ketahui- dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Alloh, membantai para nabi dan para waliNya, atau sihir, kufur dan lain semacamnya, maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Alloh menetapkan bahwa: “Orang yang bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa.”
Dan Alloh sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Alloh akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman: ”Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Alloh, sesungguhnya Alloh akan mengampuni seluruh dosa, seungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” (Az-Zumar: 53) Dan tidak akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka yang bertaubat.
Bila ternyata orang yang menjadi pelaku perbuatan  liwath itu di masa tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nashuha dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam Surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman baginya. Sungguh Alloh memberikan hukuman atas perbuatan yang jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang akan diterimanya, sebagaimana Alloh juga memberikan ganjaran bagi sebuah perbuatan baik dengan perbuatan baik lainnya.
(Dikutip dan diolah dari: JANGAN DEKATI ZINA, Karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah)

0 komentar:

Posting Komentar