Senin, 01 November 2010

Hal-Hal kecil yang diharamkan

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
 Seringkali hal-hal besar itu berawal dari hal-hal yang kecil. Karena tidak akan ada langkah ke-1000 jika tidak pernah ada langkah ke-satu. Dan bahkan tipudaya  kaum-kaum yang benci terhadap umat Islam saat ini digambarkan dalam bentuk yang sangat-sangat halus. Bahkan mungkin tanpa pernah kita sadari, ternyata telah selangkah-demi selangkah kita telah mengikuti jejak mereka. Dimana pada umumnya, tipu daya mereka diawali dengan hal-hal yang kecil, hal-hal yang syubhat, makruh, haram ‘sedikit’ dsbnya. Karena hal-hal semacam ini, sulit dikenali bagi mereka yang awam. Mereka yang mungkin belum betul-betul mengenal pokok-pokok syariat agamanya sendiri dengan benar. ‘Atau’ mungkin karena pengaruh lingkungan yang ‘agak’ jauh dari nilai-nilai agama atau karena sebab-sebab yang lain.

Kutipan berikut, semoga menjadi perenungan kita bersama, bahwa apa yang dijelaskan oleh para ulama sebagai dosa-dosa yang tergolong kecil, tidak seharusnya kita anggap remeh. Semoga Allah SWT memudahkan kita untuk melihat kebenaran itu sebagai kebenaran dan kesalahan sebagai kesalahan.
 wassalmu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
=====================
HAL-HAL KECIL YANG DIHARAMKAN
 oleh: Ustadz Yusuf Qardhawy
Setelah berbicara tentang dosa-dosa  besar  yang  sama  sekali diharamkan   oleh  agama  ini,  maka  ada  baiknya  kita  juga berbicara tentang dosa-dosa kecil,  yang  oleh  agama  disebut dengan istilah lamam (remeh) dan muhaqqarat (hina).

Hampir  tidak  ada  orang yang luput dari dosa kecil ini. Oleh karena  itu,  dosa-dosa  kecil  ini  sangat   berbeda   dengan dosa-dosa  besar.  Dosa-dosa  kecil  ini dapat dihapuskan oleh shalat lima waktu, shalat  Jumat,  puasa  Ramadhan  dan  qiyam lail, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

   “Shalat lima waktu, shalat Jumat kepada shalat Jumat berikutnya, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, apabila seseorang menjauhkan diri dari dosa-dosa yang besar.” 43

Dalam as-Shahihain, disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

   “Apakah pendapatmu apabila ada sebuah sungai berada di depan pintu rumah salah seorang di antara kamu, kemudian
   dia mandi setiap dan sebanyak lima kali; maka apakah masih ada lagi sesuatu kotoran di badannya? Begitulah perumpamaan shalat lima waktu itu, dimana Allah SWT menghapuskan kesalahan-kesalahan kecil hamba-Nya.” 44

Dalam kitab yang sama disebutkan,

   “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keyakinan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
   terdahulu.”
 
   “Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan penuh perhitungan, maka akan diampuni
   dosa-dosanya terdahulu.”45

Bahkan  al-Qur’an  menyebutkan  bahwa  hanya  dengan   sekadar menjauhi  dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecil akan diampuni. Allah SWT berfirman: “Jika kamu menjauhi  dosa-dosa  besar  di antara  dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, maka Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan  Kamimasukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (an-Nisa’: 31)

Adapun  dosa-dosa  besar  tidak  akan  diampuni kecuali dengan melakukan tobat yang benar.

Sedangkan dosa-dosa kecil, hampir dilakukan oleh setiap  orang awam.  Oleh  sebab  itu,  ketika Allah memberikan sifat kepada orang yang suka berbuat baik di  antara  para  hamba-Nya,  Dia tidak  memberikan sifat kepada mereka kecuali dengan “menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan yang keji.”

   “… dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada
   Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
   keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.”
   (as-Syura: 36-37)
 
   “Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan
   kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada
   orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang-orang yang menjauhi
   dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhya Tuhanmu Maha Luas
   ampunan-Nya…” (an-Najm: 31-32)

Itulah sifat orang-orang yang  suka  melakukan  kebaikan,  dan memiliki  sifat  yang  baik.  Mereka menjauhkan diri dari dosa besar, dan kekejian, kecuali dosa-dosa kecil  (al-lamam).  Ada beberapa  riwayat  dari  para ulama terdahulu berkaitan dengan penafsiran kata “al-lamam” dalam ayat tersebut. Ada di  antara mereka  berkata,  “Artinya,  mereka  tahu  bahwa perbuatan itu merupakan suatu dosa, kemudian mereka tidak mengulanginya lagi walaupun itu dosa besar.”

Abu  Salih  berkata,  “Aku pernah ditanya tentang firman Allah ‘al-laman’ kemudian aku berkata, ‘Yaitu  dosa  yang  diketahui oleh   seseorang   kemudian  dia  tidak  mengulangi  dosa  itu kembali.’ Kemudian aku  menyebutkan  jawaban  itu  kepada  Ibn Abbas.  Maka  dia  berkata, ‘Sungguh engkau telah dibantu oleh malaikat yang mulia dalam menafsirkan kata itu.’”

Jumhur ulama berkata bahwa sesungguhnya al-lamam adalah berada di  bawah  tingkatan  dosa-dosa  besar. Begitulah riwayat yang paling shahih diantara riwayat yang berasal  dari  Ibn  Abbas, sebagaimana  disebutkan  dalam  Shahih  al-Bukhari: “Aku tidak melihat hal yang lebih serupa dengan al-lamam kecuali apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw:

   “Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian-bagian zina terhadap anak Adam. Dia pasti melakukan hal itu. Mata berzina dengan melakukan penglihatan, lidah berzina dengan melakukan percakapan, hawa nafsu melakukan zina dengan berkhayal dan mengumbar syahwat, kemudian farji membenarkan atau mendustakannya.’” (Diriwayatkan oleh Muslim). Dalam riwayat itu juga disebutkan: “Kedua mata melakukan zina dengan pandangan, kedua telinga melakukan zina dengan pendengaran, lidah melakukan zina dengan percakapan, dan tangan melakukan zina dengan memukul, serta kaki melakukan zina dengan melangkah.”

Imam Ibn al-Qayyim berkata, “Yang benar adalah pendapat Jumhur ulama  yang  mengatakan  bahwa al-lamam ialah dosa-dosa kecil, seperti melihat, mengedipkan  mata,  mencium,  dan  lain-lain.Pendapat  ini  berasal  dan  Jumhur  sahabat  dan  orang-orang setelah mereka; seperti Abu Hurairah  r.a.,  Ibn  Mas’ud,  Ibn Abbas,  Masruq,  dan  al-Sya’bi.  Pendapat ini tidak menafikan pendapat Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas  dalam  riwayat  yang lainnya:  ‘Yakni  seseorang mengetahui dosa besar itu kemudian dia tidak mengulanginya lagi.’  Karena  sesungguhnya  al-lamam sama-sama  mencakup  keduanya. Ini bermakna bahwa Abu Hurairah r.a.  dan  Ibn  Abbas  bermaksud  bahwa  ada  seseorang   yang melakukan   dosa   besar   satu   kali,   kemudian  dia  tidak mengulanginya lagi,  dan  hanya  sekali  itu  dilakukan  dalam hidupnya,  dan  ini  dinamakan  al-lamam.
 Kedua orang ini juga berpandangan bahwa al-lamam juga dapat berarti dosa-dosa kecil yang   lama  kelamaan  menjadi  besar  karena  sering  diulang berkali-kali. Dan itulah  yang  dipahami  dari  pendapat  para sahabat r.a., dari kedalaman ilmu mereka. Tidak diragukan lagi bahwasanya Allah SWT  membedakan  toleransi  kepada  hamba-Nya satu  atau  dua kali, atau tiga kali. Yang dikhawatirkan ialah kesalahan kecil yang  seringkali  dilakukan  sehingga  menjadi kebiasaan.  Dan  bila  sering  dilakukan  maka  akan bertumpuk menjadi dosa yang banyak.” 46

Walaupun syariah agama ini memberikan toleransi dan menganggap enteng  dosa-dosa  kecil  dan  ringan,  tetapi  dia memberikan peringatan   agar   tidak   mengentengkannya,   dengan   terus melakukannya. Karena semua perkara yang kecil apabila ditambah dengan perkara  yang  kecil  secara  terus-menerus  maka  akan menjadi besar. Sesungguhnya dosa-dosa yang kecil dapat menjadi dosa besar, dan dosa  besar  mengakibatkan  kepada  kekufuran. Kebanyakan api yang besar asalnya adalah api yang kecil.

Sehubungan  dengan  hal  ini  Sahl bin Sa,ad meriwayatkan dari Nabi saw,

   “Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya perumpamaan dosa-dosa kecil adalah sama dengan
perumpamaan suatu kaum yang turun ke sebuah lembah. Kemudian ada seorang di antara mereka membawa satu batang kayu, lalu ada lagi orang lain yang membawa sebatang kayu lagi, sampai batang kayu itu dapat dipergunakan untuk memasak roti mereka. Sesungguhnya dosa-dosa kecil itu bila dilakukan secara terus-menerus, dapat membinasakan orang yang melakukannya.”47

Ibn Mas’ud  meriwayatkan  dengan  lafal:  “Jauhilah  dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil yang berkumpul pada diri seseorang akan dapat menghancurkannya.” Dan  sesungguhnya Rasulullah  saw  mengambil  satu  perumpamaan  dosa  kecil ini bagaikan suatu kaum yang tinggal di suatu lembah, lalu  datang seorang  pembuat roti, kemudian dia menyuruh orang untuk pergi mencari  batang  kayu;  kemudian  orang-orang  datang  membawa batang  kayu  itu  sampai jumlahnya sangat banyak. Lalu mereka menyalakan api dan memasak  apa  yang  mereka  berikan  kepada tukang roti itu.”48

Ringkasan    perumpamaan    itu    adalah   sebagai   berikut:
“Sesungguhnya  ranting-ranting  kayu  yang  kecil  itu  ketika dikumpulkan   akan   dapat   membuat   api   yang   besar  dan menyala-nyala. Begitu pula dosa-dosa kecil dan remeh.”

Diriwayatkan  dari  Ibn  Mas’ud:  Orang  Mukmin  itu  melihat dosanya  bagaikan  gunung sehingga dia takut tertimpa olehnya; sedangkan  melihat  dosanya   bagaikan   lalat sehingga  dia selalu terjerumus ke dalam dosa. Dengan dosa itu dia begini dan begitu.” 49 (Sambil memberikan  isyarat  dengan tangannya yang terombang-ambing).

Imam Ghazali mengatakan dalam bab at-Taubah, di dalam bukunya, al-Ihya’,  tentang  adanya  sejumlah  perkara   besar   karena perkara-perkara  yang  kecil,  dan  perkara yang besar menjadi lebih besar. Antara  lain:  Menganggap  kecil  dosa-dosa  yang kecil  dan  meremehkan  kemaksiatan,  sehingga  sebagian orang salaf berkata,  “Sesungguhnya  dosa  yang  dikhawatirkan  oleh pelakunya  untuk  tidak diampuni ialah yang dikatakan olehnya: ‘Alangkah  baiknya  bila  seluruh  dosa  yang   saya   lakukan dikhawatirkan  seperti  ini.’  Dosa lainnya ialah yang sengaja ditampakkan  oleh  pelakunya.
Dalam  sebuah   hadits   shahih dikatakan,  ‘Seluruh  umatku  akan diampuni kecuali orang yang sengaja melakukan dosa-dosa secara demonstratif.’

Ibn al-Qayyim berkata, “Di  situlah  kita  mesti  berhati-hati dalam  melangkah.  Karena  sesungguhnya dosa besar itu apabila disertai  dengan  malu,  rasa  takut,  dan  anggapan  terhadap sesuatu  yang besar padahal sebetulnya sesuatu itu kecil, maka dia tidak akan  melakukan  perbuatan  dosa.  Sebaliknya,  dosa kecil  apabila  tidak disertai dengan rasa malu, tidak peduli, tidak takut, dan meremehkannya, maka  dia  akan  menjadi  dosa besar.  Dan bahkan akan menduduki peringkat yang paling tinggi di antara dosa-dosa tersebut.”50

Begitu  pula  halnya  dengan  satu  kemaksiatan  akan  berbeda dosanya   sesuai   dengan   tingkat  perbedaan  individu  yang melakukannya dan keadaannya. Zina yang dilakukan oleh  seorang bujang  tidak  sama dengan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Dosa zina yang dilakukan oleh pemuda yang belum menikah  dengan  orang  tua  yang  sudah  menikah  tidak dapat disamakan  begitu  pula  zina  yang  dilakukan  dengan   istri tetangga  atau  istri  orang yang sedang pergi berperang, atau dengan mahramnya, atau zina pada siang Ramadhan. Dosa zina itu tidak  dapat  disamakan.  Setiap  keadaan  akan dinilai secara tersendiri oleh Allah SWT.
………… dst
Catatan kaki:
 
43 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a.
 
44 Muttafaq Allaih dari Abu Hurairah r.a., al-Lu’lu’wal-Marjan (435); al-Muntaqa min at-Targhib wat-Tarhib, 514.
 
45 Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah r.a. al-Lu’lu’ wal-Marjan(435); al-Muntaqa min at-Targhib 514. Yang dimaksudkan dengan dosa-dosa di sini ialah dosa-dosa kecil dan bukan dosa-dosa besar.
 
46 Lihat Ibn al-Qayyim. Madarij ai-Salikin, 1:316-318, cet. Al-Sunnah al-Muhammadiyyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Hamid al-Faqi.
 
47 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma’, 10:190: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan rijal yang shahih; dan
   diriwayatkan oleh Thabrani sebanyak tiga kali melalui dua rangkaian sanad, dengan rijal hadits yang shahih selain Abd
   al-Wahhab bin al-Hakam. Dia adalah seorang tsiqat. Dia menyebutkannya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (2686),
   kemudian dia menisbatkannya kepada Baihaqi dalam al-Syu’ab wa al-Dhiya’”
 
48 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma’, 10:189: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dengan rijal yang shahih selain Imrah al-Qattan, tetapi dia dianggap tsiqat. Al-Manawi mengutip dari al-Hafiz al-Iraqi bahwa isnad hadits ini shahih.” Al-Alai berkata, “Hadits ini baik, sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim.” Ibn Hajar berkata, “Sanad hadits ini hasan.” (Al-Faidh, 3:128)

49 Diriwayatkan oleh Bukhari
 
50 Madarij al-Salikin, 1: 328
 
51 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, 3:324,326,340; dan
   Bukhari (2236), dan (42961; Muslim (1581); Abu Dawud (3486);
   Tirmidzi (1298); Nasai, 7:177,309; dan Ibn Majah (2167)

0 komentar:

Posting Komentar